Minggu, 14 Oktober 2012

Kenaikan Permukaan Air Laut Zaman Prasejarah Terulang Kembali

Kenaikan permukaan air laut antara 14-18 meter (46-60 kaki) merupakan akibat dari melelehnya lapisan es di Antartika pada 14.650 tahun yang lalu, menurut para peneliti. Data ini dapat membantu membuat prediksi perubahan iklim yang lebih akurat. Para ilmuwan mengatakan, mencairnya es di kutub dapat memberikan kontribusi jangka panjang kenaikan permukaan air laut, hal tersebut mengancam kehidupan jutaan umat manusia.
Kenaikan permukaan air laut rata-rata telah meningkat sekitar 18 cm (7 inci) sejak tahun 1900 dan tingkat  pemanasan global yang cepat akan mempercepat laju peningkatan tersebut, para ahli mengatakan. Kenaikan permukaan air laut mengancam garis pantai dan memaksa  kota dengan dataran yang rendah membangun pertahanan laut yang mahal.
Lelehan es yang yang terjadi di pesisir Cape denison di Antartika pada 14 Desember 2009 (Foto: Reuters/Pauline Askin)
Lelehan es yang yang terjadi di pesisir Cape denison di Antartika pada 14 Desember 2009. (Foto : Reuters/Pauline Askin)
                                                                                         
Bulan lalu  para ilmuwan mengatakan bahwa  penipisan gletser dan lapisan es mendorong kenaikan permukaan air laut sebesar 1,5 milimeter per tahun, dan para ahli memperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar dua meter pada tahun 2100.
Kenaikan permukaan air laut yang sangat cepat diperkirakan telah terjadi 14.650 tahun lalu, tetapi rincian tentang kejadian tersebut belum jelas.
Beberapa catatan kenaikan permukaan air laut sebelumnya telah menunjukkan,  lelehan gletser menyebabkan peningkatan 20 meter dalam waktu kurang dari 500 tahun.
Akan tetapi,  masih ada ketidakpastian mengenai sumber lelehan, kekuatannya dan hubungannya dengan perubahan iklim.
Sebuah tim ilmuwan yang di dalamnya terdapat peneliti dari France’s Aix-Marseille University  dan University of Tokyo, mengklaim telah memecahkan misteri yang dapat menjelaskan mengenai perubahan iklim.

Mereka merekonstruksi perubahan permukaan air laut dengan menganalisis sampel karang yang dikumpulkan dari terumbu karang di Tahiti dan menacatat tanggal pengamatan sampel untuk menentukan tingkat dan waktu kenaikan permukaan air laut.
“Hasil kami mengungkapkan bahwa kenaikan permukaan air laut yang terjadi di Tahiti adalah antara 12 sampai 22 meter, dengan kemungkinan yang paling sering terjadi adalah antara 14 sampai 18 meter, hal tersebut sangat jelas menunjukkan akibat dari  penambahan air dari lelehan es yang signifikan dari belahan bumi bagian selatan,” kata penulis dari penelitian ini, penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature.
Hal ini menunjukkan bahwa, laju kenaikan permukaan air laut lebih dari 40 milimeter per tahun, kata mereka.
Panelis  iklim di PBB pada hari Rabu mengatakan, semua bangsa akan rentan terhadap kenaikan gelombang panas, hujan lebat, banjir, dan kemungkinan kenaikan dalam intensitas kekeringan.

Pemanasan Global Rusak Terumbu Karang

Pemanasan Global Rusak Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem produktif di pesisir, selain bakau dan lamun. Indonesia memiliki 85.000 kilometer persegi ekosistem terumbu karang dan representasi dari 14 persen terumbu karang dunia. Namun, di Indonesia hanya kurang dari 7 persen yang kondisinya sangat bagus. Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas terumbu karang, seperti pencemaran, pengeboman, pemakaian sianida, dan perubahan iklim, termasuk pemanasan global.
Terumbu karang Goniopora sp dengan jenis pertumbuhan submasif dikelilingi ikan-ikan indikator di di perairan Pulau Pisang Gadang, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (26/5). Tutupan terumbu karang baru mulai terlihat di kawasan perairan itu sekitar tiga tahun terakhir (Foto: KOMPAS/INGKI RINALDI).
Terumbu karang Goniopora sp dengan jenis pertumbuhan submasif dikelilingi ikan-ikan indikator di di perairan Pulau Pisang Gadang, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (26/5). Tutupan terumbu karang baru mulai terlihat di kawasan perairan itu sekitar tiga tahun terakhir (Foto: KOMPAS/INGKI RINALDI).


Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan air laut memberikan dampak pada ekosistem terumbu karang, seperti terjadinya pemutihan karang. Hal itu merupakan proses di mana karang kehilangan simbionnya yang berupa zooxanthela (alga endosimbion), terutama dari genus Symbiodinium yang memberikan warna pada permukaan karang. Alga simbion ini berperan penting dalam ekosistem terumbu karang. Simbion menyediakan hampir semua kebutuhan energi karang yang berasal dari proses fotosintesis berupa karbon. Pemutihan karang diyakini sebagai mekanisme normal karang sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dan mempertahankan eksistensinya. Alga simbion lepas dari inang karang secara temporer dan terjadi perubahan komposisi alga simbion. Dalam konsep coral holobionts, yakni inang karang dan mikroorganisme yang berasosiasi dengannya, dikenal istilah adaptive bleaching hypothesis. Dalam hipotesis ini, ada hubungan dinamika antara karang dan Symbiodinium pada kondisi lingkungan berbeda untuk memilih alga simbion menguntungkan.
Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 ± 0,2 derajat celsius dan diprediksi akan meningkat 1,5-4,5 derajat celsius pada abad ini, merupakan ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut.
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, pemutihan karang Oculina patagonica, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa.

Suhu air laut
Peningkatan suhu air laut merupakan faktor utama dalam peningkatan ancaman penyakit karang. Pada pemutihan karang yang menyerang Pocillopora damicornis yang terinfeksi bakteri Vibrio coralliilytycus, karang akan mengalami pemutihan ketika suhu air laut 24-26 derajat celsius, dan Symbiodinium akan mengalami lisis ketika suhu air laut 27-29 derajat celsius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celsius infeksi tidak terjadi.
Beberapa tahap dalam proses infeksi karang, seperti adhesi patogen pada permukaan karang, ketahanan hidup patogen dalam jaringan karang dan produksi toksin merupakan proses yang bergantung pada kenaikan suhu.
Pada kasus infeksi yang menyebabkan pemutihan pada karang Oculina patagonica yang disebabkan oleh bakteri Vibrio shiloi, kenaikan suhu yang mendekati 30 derajat celsius menyebabkan patogen ini memasuki status viable but nonculturable. Hal ini merupakan keadaan di mana patogen kehilangan kemampuan untuk menghasilkan koloni pada media agar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan.
Implikasinya, kita tidak akan mampu mengisolasi patogen yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menguji dalam menentukan agen penyebab penyakit. Karena itu, pemanasan global merupakan ancaman nyata yang menyebabkan penyakit karang.

Mikroorganisme
Ancaman lain berkaitan dengan penyakit karang adalah fakta di mana penyakit karang tidak lagi didominasi bakteri/jamur tunggal, seperti aspergilosis oleh jamur Aspergillus sydowii atau pelak putih oleh Aurantimonas coralicida, tetapi disebabkan oleh konsorsium mikroorganisme, seperti pada kasus black band.
Dalam penelitian terkini tentang agen penyebab penyakit pada white band di Perairan Tanjung Gelam, Kepulauan Karimunjawa, Hakim dan kawan-kawan (2012) membuktikan, penyakit white band yang menyerang karang Acropora humilis dan Acropora tortousa disebabkan oleh konsorsium bakteri yang terdiri dari genus Vibrio, Pseudoalteromonas, dan Bacillus.
Konsorsium patogen ini menyebabkan tipe penyakit white band yang berbeda pada A humilis dan A tortousa. Tipe I ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian bawah karang yang diuji pada A humilis dan tipe II yang ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian tengah percabangan ke arah ujung koloni pada A tortousa.
Fakta lain berkaitan dengan penyakit karang adalah perbedaan pemutihan karang. Pemutihan yang hanya dipicu oleh kenaikan suhu ditandai dengan pemutihan massal. Adapun pada penyakit karang, pemutihan bersifat lokal.
Sangat mungkin pada karang yang sama dan hidup berdampingan, yang satu terkena infeksi, tetapi karang di sebelahnya bebas dari serangan patogen penyebab penyakit.
Coral probiotic hypothesis dipercaya sebagai jawaban atas fenomena ini. Hampir mirip dengan adaptive bleaching hypothesis, hipotesis coral probiotic memungkinkan inang koral mengubah komposisi mikroorganisme yang berasosiasi dengannya. Dengan demikian dapat beradaptasi dengan ancaman penyakit karang dan kenaikan suhu air laut.
Pengetahuan berkaitan dengan penyakit karang yang dikaitkan dengan pemanasan global dan agen-agen penyebabnya sangat diperlukan dalam manajemen penyakit karang. Hal itu terutama berkaitan dengan penyebaran penyakit karang.

Es di Greenland Meleleh Ekstrem


Es di Greenland Meleleh Ekstrem

Pengamatan satelit Badan Antariksa Amerika Serikat NASA mengungkap bahwa es di Greenland meleleh secara massal. Pelelehan bahkan terjadi di wilayah terdingin dan tertinggi di Greenland, Summit Station.
Tiga satelit NASA menunjukkan bahwa es yang menyelimuti Greenland meleleh mulai 8 Juli 2012 dan berlangsung selama empat hari. Lapisan es yang tebal tetap bertahan tak meleleh.
Citra menunjukkan lapisan es sebelum meleleh pada 8 Juli 2012 (kiri) dan setelah meleleh 4 hari pada 12 Juli 2012. (Foto: AP)Pelelehan es memang biasa terjadi di musim panas, tetapi fenomena ini mengejutkan sebab terjadi secara cepat dalam cakupan wilayah yang luas. Catatan inti es NASA menunjukkan apa yang pernah terjadi pada tahun 1889 dan terjadi setiap 150 tahun sekali.
“Ada pergerakan udara hangat yang melewati lapisan es Greenland dan melelehkannya,” kata Tom Wagner seperti dikutip AP, Selasa (24/7/2012).

Citra menunjukkan lapisan es sebelum meleleh pada 8 Juli 2012 (kiri) dan setelah meleleh 4 hari pada 12 Juli 2012. (Foto: AP)

Area pelelehan es selama empat hari pelelehan cepat ini meningkat dari 40 persen lapisan es menjadi 97 persen. Ini memecahkan rekor. Pelelehan paling besar yang pernah terjadi selama tiga dekade terakhir hanya mencakup 55 persen area.
Waigner yang merupakan peneliti es NASA mengatakan belum mengetahui lebih banyak tentang sebab pelelehan, tetapi tampaknya es akan membeku lagi.
Waleed Abdalati, juga dari NASA, mengatakan, “Jika kita melihat pelelehan terjadi di wilayah yang belum pernah kita lihat sebelumnya dalam jangka panjang, itu membuat Anda duduk dan berpikir apa yang terjadi.”
Menurut Abdalati, apa yang terjadi saat ini menjadi sinyal tentang apa yang akan terjadi beberapa tahun mendatang.
Pada saat yang sama dengan pelelehan ini, gunung es raksasa di Petermann Glacier, wilayah utara Greenland, rubuh. National Snow and Ice Data Center juga menyatakan bahwa area yang tertutupi es Artik semakin menurun.
Sampai saat ini, ilmuwan belum mengetahui apakah pelelehan ini adalah fenomena langka “biasa” atau merupakan dampak perubahan iklim. Namun, tak bisa ditampik bahwa penurunan ketebalan lapisan es di Greenland adalah dampak perubahan iklim.
Thomas Mote, pakar iklim dari University of Georgia, mengatakan bahwa musim panas di Greenland tergolong tinggi temperaturnya. Ini dikarenakan tekanan tinggi yang ada di wilayah itu menyebabkan datangnya “udara panas”.